Dunia Ku Untuk Melayani Nafsu Bejat Guruku

Posted on

Oke, anak-anak, semuaya tolong tasnya taruh diatas meja, jangan lupa HP nya juga, terus semuanya tunggu diluar” Kata Pak Dirman wali kelasku.
“Ada apaan sih? Razia yah?” tanya teman sebangkuku Ratna.
“Tau nih, kayak kurang kerjaaan aja” gerutuku.

Setelah melakukan apa yang diperintahkan, kami pun berjalan keluar kelas, menuju lapangan basket yang memang berada tepat ditengah sekolah kami. Disana kulihat murid-murid dari kelas lain sudah bergerombol, tampaknya razia ini meliputi semua kelas di sekolahku. Oh iya, sebelumnya perkenalkan, namaku Dinda Alaina Putri, usiaku baru menginjak 16 tahun, saat ini aku duduk di kelas 1 di sebuah SMU di Jakarta Selatan.

Mamaku asli Jawa, sedangkan papaku keturunan Belanda – Sunda. Bisa dibilang aku ini siswi yang aktif, selain aktif sebagai cheerleader di sekolahku, aku juga pernah terpilih sebagai gadis sampul favorit oleh sebuah majalah terkenal di ibukota.

Secara fisik aku memang menarik, meski tinggiku hanya 164 cm, namun ditunjang oleh wajah yang (kata orang) cantik, kulit putih langsat dan porsi badan yang ideal, membuatku bisa dibilang sebagai “seleb” di sekolahku.”Din, Dinda!” kudengar seseorang memanggil namaku.

Aku pun melihat Ryan, pacarku tampak bergegas menghampiriku dari arah kelasnya. Aku dan Ryan pacaran sudah hampir dua tahun lamanya, kami berasal dari SMP yang sama, bahkan dialah alasan kenapa aku memilih SMU ini, supaya kami bisa tetap melanjutkan hubungan kami.

“Din, sini, gue mau ngomong bentar” katanya terburu-buru sambil menarik tanganku ke arah WC.
Setelah sampai ke WC sekolah, sejenak ia menengok ke kiri dan ke kanan seakan mencari sesuatu.

“Ada apaan sih?” tanyaku yang bingung melihat kelakuannya.
“Din, gawat, HP gue diperiksa trus dibawa ama Pak Dedi” katanya sedikit panik.
“Trus kenapa, emang ada apaan didalemnya?” tanyaku.

“Ehh…itu Din…ada rekaman video, waktu kita..” katanya gugup.
Aku yang sudah melihat arah pembicaraan langsung ikut panik.
“Apaa!…bukannya kamu bilang rekaman itu udah kamu hapus?!” kataku setengah berteriak.

“Ya, emang tadinya mau gue hapus, tapi kan sayang buat kenang-kenangan”
“Ah gila lu…kan kita udah sepakat, dari awal juga gue dah gak suka kamu pake ngerekam- rekam segala, tuh sekarang jadi kejadian deh” sesalku.
“Maaf Din, gue emang salah” kata Ryan dengan wajah memelas.

Karena tak tahu harus bilang apa, aku langsung kembali ke kelasku, nampaknya razia itu telah berakhir, karena hampir semua murid sudah kembali kekelasnya masing-masing. Aku pun langsung masuk ke kelasku dan duduk di bangkuku.

“Ada apaan Din, kok muka lu ditekuk gitu?” tanya Ratna khawatir.
“Gak ada apa-apa kok” jawabku pendek.
Sisa hari itu kujalani dengan pikiran kalang kabut, hingga bel pulang sekolah berbunyi, pikiranku masih berkutat seputar HP Ryan yang disita.

Ketika aku sedang membenahi tasku, dan bersiap untuk pulang, seseorang menepuk bahuku dari belakang.
“Kamu yang namanya Dinda kan? Kamu dipanggil Pak Dedi ke kantornya.” Kata seorang gadis cantik kelas 3 yang namanya aku tidak tahu.

“Eh.. iya kak…makasih kak” jawabku.
Gadis itu hanya melengos pergi tanpa menjawab, namun entah kenapa matanya seperti memancarkan kesedihan dan kekhawatiran, ah mungkin hanya khayalanku saja.

“Ngapain guru killer itu pake manggil kamu segala?”, Ratna bertanya heran.
“Tau nih, kamu pulang duluan aja deh”.
“He-eh deh, sampai nanti!” Ratna pun berlalu pulang.

Aku pun berjalan kearah ruang yang amat ditakuti oleh seluruh siswa di sekolahku. Pak Dedi adalah guru Bahasa Indonesia sekaligus Wakil Kepala Sekolah, yang memang terkenal galak bukan main, usianya mungkin sudah 50 tahun lebih, namun ditunjang oleh wajah yang lebih cocok menjadi preman dari pada guru, dan badan yang tinggi besar, membuatnya ditakuti di sekolah ini. Akupun sampai ke depan kantornya, dan dengan memberanikan diri aku mengetuk pintu.

“Masuk…!” Sebuah suara yang amat menakutkan menyilakan masuk.
“Selamat siang pak!”.
“Selamat siang Dinda, masuk, duduk “, katanya tanpa meninggalkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
Akupun menuruti perintahnya.

“Kamu tahu kenapa saya panggil ?” tanyanya.
“Eh…nggak tahu Pak” kataku gugup.
“Liat ini” katanya sambil menyodorkan sebuah HP yang kutahu merupakan HP Ryan, di layarnya sedang berputar rekaman video dimana aku sedang menghisap penis Ryan, aku hanya bisa menatap layar HP itu dengan wajah pucat, tak tahu harus berkata apa.

Memang beberapa bulan yang lalu aku telah menyerahkan kegadisanku kepada Ryan, ketika orang tuanya sedang keluar kota. Dan sejak itu aku beberapa kali berhubungan seks dengannya setiap ada kesempatan. Dalam satu kesempatan itulah Ryan merekam adegan tersebut, namun tak lama kemudan, atas permintaanku ia berjanji akan menghapusnya, karena aku takut rekaman itu akan tersebar.

“Kamu tahu akibatnya kalo video ini sampai tersebar? Bukan hanya kamu dan Ryan dikeluarkan dari sekolah, keluargamu juga akan menanggung malu seumur hidup, video ini bahkan bisa saja mempengaruhi bisnis Papa kamu” kata Pak Dedi dingin.

“Saya mohon Pak, jangan, saya janji tidak akan berbuat hal seperti ini lagi” ibaku memelas.
“Maaf, tapi sebagai pendidik, sudah tugas saya untuk menghukum segala jenis penyelewengan dan kebejatan moral seperti ini.” tandasnya tegas.

“Pak, apa gak ada jalan lain?” pintaku.
Aneh, sekejap kulihat ia tersenyum tipis.
“Ada, kalo kamu mau bapak bisa saja menganggap masalah ini tidak ada, tapii…”
“Tapi apa apa pak?”

“Kamu nanti malam jam 7 harus mengikuti bimbingan belajar di rumah saya, sesudah itu bapak akan kembalikan HP ini, dan melupakan masalah ini”
“Bimbingan belajar? Belajar apa Pak?” tanyaku lagi sedikit kebingungan.
“Udahlah gak usah banyak tanya, mau gak?!” katanya.

“Mau..mau Pak” jawabku, karena memang tidak ada pilihan lagi.
” Oke, nanti kamu datang ke rumah saya, ini alamat saya”, Katanya acuh tak acuh sambil menyerahkan secarik kertas berisikan alamatnya.

“Ada lagi?” tanya Pak Dedi itu.
“Tidak pak, selamat siang!”
“Selamat siang!”.

Dengan lemas aku beranjak keluar dari ruangan itu. Kesal sekali rasanya, terhadap Pak Dedi berengsek itu. Malam itu dengan alasan hendak belajar bersama, aku berangkat dari rumahku, untuk memenuhi janjiku tadi siang. Rupanya rumah Pak Dedi terletak di sebuah perumahan kelas menengah, tidak jauh dari sekolahku.

Tak lama, taksi yang membawaku ke rumah Pak Dedi pun berhenti di alamat yang tertulis di secarik kertas yang diberikan Pak Dedi. Didepan rumahnya kulihat ada sebuah mobil dan sepeda motor, yang kutahu bukan milik Pak Dedi, dan pasti bukan milik keluarganya, karena setahuku, sejak bercerai dengan istrinya 5 tahun yang lalu, pak Dedi tinggal seorang diri karena anak-anaknya pun sudah dewasa dan menikah.

Aku sempat ragu-ragu sejenak, aku bukan orang bodoh, tidak mungkin masalah ini bisa diselesaikan oleh bimbingan belajar saja, Pak Dedi pasti menginginkan sesuatu dariku, kemungkinannya hanyalah uang atau tubuhku, dan karena kemarin ia tidak menyuruhku untuk membawa uang, jadi ia pasti…

Belum sempat memijit bel pintu sudah terbuka, seraut wajah yang sudah mulai tua muncul.
“Ehh…! Dinda, ayo masuk!”, sapa orang itu yang tak lain adalah pak Dedi sendiri.
Tumben ramah, tidak sepeti biasanya ketika mengajar di kelas, guru ini terkenal paling killer.

Interior depan rumah itu sederhana saja, cuma satu stel sofa, meja, beserta sebuah rak perabotan pecah belah. Dindingnya polos kecuali beberapa foto dari anak-anak Pak Dedi dan lukisan yang tergantung di dinding. Demikian juga dengan ruang tengahnya, terasa betapa luas dan kosongnya ruangan tengah itu, yang ada hanya sofa panjang berbentuk melingkar menghadap ke taman samping, meja beserta televisinya dan sebuah stereo set terpasang di ujung bar.

Pak Dedi rupanya memang tidak sendirian dirumah itu. Di ruang tengah itu, telah duduk dua orang lelaki dan seorang gadis, yang jelas-jelas masih menggunakan seragam SMU. Aku pun terkejut setengah mati, aku mengenali orang-orang tersebut.

Pria setengah baya yang bertubuh kurus kering dan bermuka mirip tengkorak adalah guru fisikaku Pak Hendri, sedangkan yang satu lagi adalah Nono, penjaga sekolahku, Bang Nono bertubuh gemuk dan berkulit hitam, meskipun hanya penjaga sekolah, namun ia sering berlagak seperti pemilik sekolah itu, makanya banyak anak-anak yang sebal setengah mati melihatnya.

Sementara gadis SMU itu bernama Sherin, ia kakak kelas satu tahun diatasku. Bahkan ia juga anggota cheerleader sama sepertiku. Ia berperawakan tinggi langsing, berkulit putih dan rambutnya yang hitam lurus dan panjang tergerai sampai ke pinggang, dengan poni tebal menutupi dahinya.

Wajahnya yang oval dan bermata sipit menandakan bahwa ia berdarah Tionghoa. Harus kuakui dia memang cantik, seperti bintang film drama Mandarin. Tidak heran jika diantara anak-anak perempuan kelas 2, ia merupakan siswi yang tercantik dan terpopuler.

“Kamu udah kenal dengan Pak Hendri dan Nono kan? Sherin juga kan, kakak pembimbing kamu di cheers ya?” kata Pak Dedi
Aku hanya mengangguk, sementara Sherin hanya tersenyum lemah melihatku. Sudah tergambar dalam benakku apa yang akan menimpaku dan Sherin.

Sesaat aku tergoda untuk kabur melarikan diri, persetan dengan HP Ryan.
“Gimana sudah siap?”, tanya pak Dedi mengejutkan aku dari lamunannya.
“Eh sudah pak, jadi kita mau belajar apa?” tanyaku masih pura-pura tak tahu akan niat mereka.

Tiba-tiba mereka semua tertawa, seakan ada sesuatu yang lucu. Semua laki-laki di ruangan itu memandang diriku dengan mata “lapar” membuat aku tanpa sadar menyilangkan tangan di depan dadaku, seolah-olah mereka bisa melihat tubuhku di balik pakaian yang aku kenakan ini. Aku saat itu memakai rok pendek diatas lutut, dan tank top yang ditutupi jaket.

Seharusnya aku tidak memakai pakaian seseksi itu, sesalku dalam hati.
“Gak usah pura-pura, masa kamu gak tahu kita mau apa” Kata Pak Dedi
Dengan tak sabaran ia menarik diriku langsung menuju sebuah kamar yang ada di ujung, dan setelah membuka pintunya, ia langsung mendorongku masuk.

Ruangan itu juga terasa kosong, sebuah kasur terhampar begitu saja di lantai kamar, dengan sprei yang sudah acak-acakan. Di sudut terdapat dua buah kursi sofa besar dan sebuah meja kaca yang mungil. Aku sangat sadar, apa yang dimaui Pak Dedi di kamar ini.

“Pak kalo ini sudah selesai, bapak berjanji akan mengembalikan HP itu kan Pak” tanyaku gugup
“Iya bapak janji, sekarang buka semua pakaian kamu” katanya sambil mendorongku ketengah ruangan.
Aku berputar membelakangi Pak Dedi, dan mulai melucuti pakaian yang aku kenakan.

Jaket, tank top, kemudian rok bawahanku kubiarkan meluncur bebas ke mata kakiku. Kemudian aku memutar balik badanku berbalik menghadap Pak Dedi. Betapa terkejutnya aku ketika aku berbalik, ternyata di hadapanku kini tidak hanya ada Pak Dedi, namun Nono juga sedang berdiri di situ sambil cengengesan.

Dengan gerakan reflek, aku menyambar jaketku untuk menutupi tubuhku yang setengah telanjang. Melihat keterkejutanku, kedua laki-laki itu malah tertawa terbahak-bahak.

“Ayolah Non Dinda, masa udah jadi bintang bokep hape masih malu-malu gitu?” ejek Bang Nono.
“Kurang ajar! Dasar bandot tua gak tahu diri!” Aku mengumpat sekenanya.

Wajah Pak Dedi berubah seketika, dari tertawa terbahak-bahak menjadi sangat serius. Dengan tatapan yang sangat tajam dia berujar,
“Apa kamu engkau punya pilihan lain? Ayolah, gak usah jual mahal, sesudah selesai kita boleh melupakan kejadian ini.”

Aku tertegun, masa aku harus melayani dua orang sekaligus, apalagi orang-orang yang bertampang seram seperti ini. Tapi seperti yang Pak Dedi bilang, aku tak punya pilihan lain. Seribu satu pertimbangan berkecamuk di kepalaku hingga membuat aku pusing.

Tubuhku tanpa sadar sampai gemetaran, terasa sekali lututku lemas sepertinya aku sudah kehabisan tenaga karena digilir mereka berdua, padahal mereka sama sekali belum memulainya. Akhirnya, dengan sangat berat hati, aku menggerakkan kedua tangan ke arah punggungku di mana aku bisa meraih kaitan BH ukuran 34B yang aku pakai.

Jaket yang tadi aku pakai untuk menutupi bagian tubuhku dengan sendirinya terjatuh ke lantai. Dengan sekali sentakan halus BH-ku telah terlepas dan meluncur bebas jatuh ke lantai Aku kini hanya berdiri menunggu, dan Pak Dedi melangkah mendekatiku, ia terus berjalan memutari tubuhku dan memelukku dari belakang.

Ia sibakkan rambutku yang memang panjang itu dan memindahkannya ke depan lewat pundak sebelah kiriku, sehingga bagian punggung sampai ke tengkukku bebas tanpa penghalang. Lalu ia menjatuhkan ciumannya ke tengkuk belakangku. Lidahnya menjelajah di sekitar leher, tengkuk kemudian naik ke kuping dan menggelitik di sana.

Kedua belah tangannya yang kekar dan berbulu yang tadi memeluk pinggangku kini mulai merayap naik dan mulai meremas-remas kedua belah payudaraku dengan gemas. Aku tidak bereaksi sama sekali selain memejamkan mataku. Pak Dedi pun dengan kasar menarik wajahku hingga bibirnya bisa melumat bibirku.

Aku hanya berdiam diri saja tak memberikan reaksi. Sambil melumat, lidahnya mencari-cari dan berusaha masuk ke dalam mulutku, dan ketika berhasil lidahnya bergerak bebas menjilati lidahku hingga secara tak sengaja lidahkupun meronta-ronta.

Dengan kuluman lidah seperti itu, ditingkahi dengan remasan-remasan telapak tangannya di payudaraku sambil sekali-sekali ibu jari dan telunjuknya memilin-milin puting susuku, pertahananku akhirnya bobol juga. Pak Dedi mulai membangkitkan nafsuku. Bahkan kini aku mulai memberanikan menggerakkan tangan meremas kepala Pak Dedi yang berada di belakangku.

Pak Dedi lalu memutar tubuhku, hingga kami saling berhadapan, ciuman Pak Dedi terus merambat turun ke leherku, menghisapnya hingga aku menggelinjang. Lalu merosot lagi sampai akhirnya hinggap di salah satu putting payudaraku, Dengan satu remasan yang gemas hingga membuat puting susuku melejit Pak Dedi untuk mengulumnya.

Pertama lidahnya tepat menyapu pentilnya, lalu bergerak memutari seluruh daerah puting susuku sebelum mulutnya mengenyot habis puting susuku itu. Ia menghisapnya dengan gemas sampai pipinya kempot.
Tubuhku secara tiba-tiba bagaikan disengat listrik, terasa geli yang luar biasa bercampur sedikit nyeri di bagian itu. Aku menggelinjang, melenguh apalagi ketika puting susuku digigit-gigit perlahan oleh Pak Dedi.

Putingku dipermainkan pula dengan lidah Pak Dedi yang kasar. Dipilin-pilinnya kesana kemari, dikecupinya, dan disedotnya kuat-kuat sampai aku merintih dibuatnya. Tanganku refleks meremas dan menarik kepalanya sehingga semakin membenam di kedua payudaraku yang putih dan padat.

Aku sungguh tak tahu mengapa harus begitu pasrah kepada lelaki itu. Mengapa aku justru tenggelam dalam permainan itu? Semula aku hanya merasa terpaksa demi menutupi rahasia atas perbuatanku. Tapi kemudian nyatanya,tanpa sadar aku mulai mengikuti permainan yang dipimpin dengan cemerlang oleh Pak Dedi.

“Dinda…kamu suka kan Bapak giniin?” tatanya disela-sela ciumannya.
Aku hanya mengangguk dan memejamkan matanya. membiarkan payudaraku terus diremas-remas dan puting susunya dipilin perlahan.

Aku menggeliat, merasakan nikmat yang luar biasa. Puting susu yang mungil itu hanya sebentar saja sudah mengeras dan mencuat semakin runcing.
“Hsss…, ah!”, Aku mendesah saat merasakan jari-jari tangan lelaki itu mulai menyusup ke balik celana dalamku dan merayap mencari liang yang ada di selangkanganku.

Dan ketika menemukannya jari-jari tangan itu mula-mula mengusap-usap permukaannya, terus mengusap-usap dan ketika sudah terasa basah jarinya mulai merayap masuk untuk kemudian menyentuh dinding-dinding dalam liang itu. Dalam posisi masih berdiri berhadapan, sambil terus mencumbui payudaraku, Pak Dedi meneruskan aksinya di dalam liang vaginaku yang sudah mulai basah itu, semakin lama semakin dalam.

Aku sendiri menggelinjang tak karuan, kedua buah jari yang ada di dalam liang vaginaku itu bergerak-gerak dengan liar. Bahkan kadang-kadang mencoba merenggangkan liang vaginaku hingga menganga. Yang membuat aku tambah terangsang, ia menggerak-gerakkan jarinya keluar masuk ke dalam liang vaginaku seolah-olah sedang menyetubuhiku membuatku tak kuasa untuk menahan diri.

Pria ini sungguh mahir membangkitkan gairahku. Dari gayanya aku dapat memperkirakan dia sangat berpengalaman dalam hal ini, bahkan sangat mungkin sudah belasan atau bahkan mungkin puluhan siswi yang menjadi korbannya.

“Nggghh…!”, mulutku mulai meracau. Aku sungguh kewalahan dibuatnya hingga lututku terasa lemas hingga akhirnya akupun tak kuasa menahan tubuhku hingga merosot bersimpuh di lantai. Aku mencoba untuk mengatur nafasku yang terengah-engah. Aku sungguh tidak memperhatikan lagi yang kutahu kini tiba-tiba saja Pak Dedi telah berdiri telanjang bulat di hadapanku.

Tubuhnya yang tinggi besar, hitam dan penuh bulu itu dengan angkuhnya berdiri mengangkang persis di depanku sehingga wajahku persis menghadap ke bagian selangkangannya. Disitu, aku melihat batang kejantanannya telah berdiri dengan tegaknya. Besar panjang kehitaman dengan bulu hitam yang lebat di daerah pangkalnya, panjangnya mungkin mencapai 20 cm.

Dengan sekali rengkuh, ia meraih kepalaku untuk ditarik mendekati daerah di bawah perutnya itu. Tanpa diperintah aku melakukan apa yang harus kulakukan demi menyenangkannya. Benda itu pun masuk ke dalam mulutku dan menjadi permainan lidahku yang berputar mengitari ujung kepalanya yang bagaikan kepala jamur itu.

Lalu berhenti ketika menemukan lubang yang berada persis di ujungnya. Lalu dengan segala kemampuanku aku mulai mengemut batang itu sambil kadang-kadang menghisapnya kuat-kuat sehingga pria itu bergetar hebat menahan rasa yang tak tertahankan.

Pada saat itu aku sempat melirik ke arah Bang Nono berada, dan ternyata laki-laki ini sudah mulai terbawa nafsu menyaksikan perbuatan kami berdua. Ia telah bertelanjang bulat dan mengocok penisnya naik turun sambil berkali-kali menelan ludah.

Konsentrasiku buyar ketika Pak Dedi menarik kepalaku hingga menjauh dari selangkangannya. Ia lalu menarik tubuhku hingga telentang di atas kasur yang terhampar di situ. Lalu dengan cepat ia melucuti celana dalamku. Ia mencium bagian dalam celana dalamku dengan penuh perasaan.

“Harum!”, katanya.
“CD-nya saja sudah sedemikian harum, apalagi isinya!”, katanya seraya melemparkannya kepada Nono sehingga laki-laki itu juga ikut-ikutan menciumi benda itu. Namun demikian mata mereka tak pernah lepas menatap belahan vaginaku yang kini tidak tertutup apa-apa lagi.

Untuk beberapa detik mata Pak Dedi nanar memandang vaginaku yang berambut tidak terlalu lebat. Si Nono pun sampai berdiri mendekat ke arah kami berdua seakan ia tidak puas memandang kami dari kejauhan. Pak Dedi dengan gemas mementangkan kedua belah pahaku lebar-lebar.

Matanya benar-benar nanar memandang daerah di sekitar selangkanganku. Nafas laki-laki itu demikian memburu dan hembusannya menggelitik vaginaku. Tak lama kemudian Pak Dedi membenamkan kepalanya di situ. Mulut dan lidahnya menjilat-jilat penuh nafsu di sekitar kemaluanku yang tertutup rambut tipis itu. Aku memejamkan mata, oohh, indahnya, aku sungguh menikmatinya, sampai-sampai tubuhku dibuat menggelinjang-gelinjang kegelian.

“Pak…!”, rintihku memelas.
“Pak…, aku gak tahan!”, aku memelas sambil menggigit bibir.

Ya, memang aku benar-benar takluk mengalamai siksaan birahi yang dilancarkan Pak Dedi. Namun rupanya guru amoral itu tidak peduli, bahkan senang melihat aku dalam keadaan demikian. Ini terlihat dari gerakan tangannya yang kini bahkan terjulur ke atas meremas-remas payudaraku, tetapi tidak menyudahi perbuatannya. Padahal aku sudah kewalahan dan telah sangat basah kuyup.

“Paakk…, aakkhh…!”, aku mengerang keras, kakinya menjepit kepala Pak Dedi melampiaskan derita birahiku, kujambak rambutnya keras-keras. Kini aku tak peduli lagi bahwa lelaki itu adalah guruku yang usianya lebih pantas jadi ayahku.
Namun tak lama kemudian, Pak Dedi mulai merenggangkan kedua belah pahaku lebar-lebar.

Paha kiriku diangkatnya dan disangkutkan ke pundaknya. Lalu dengan tangannya yang sebelah lagi memegangi batang penisnya dan diusap-usapkan ke permukaan bibir vaginaku yang sudah sangat basah. Ada rasa geli menyerang di situ hingga aku menggelinjang dan memejamkan mata.

Sedetik kemudian, aku merasakan penis itu mulai menyeruak masuk ke dalam liang vaginaku, aku pun tak kuasa untuk menahan eranganku pada saat benda tumpul itu masuk ke dalam liang vaginaku.

Dengan perlahan namun pasti, kejantanan Pak Dedi meluncur masuk semakin dalam. Ketika sudah masuk setengahnya ia memasukkan sisanya dengan satu sentakan kasar hingga aku benar-benar berteriak karena terasa nyeri. Dan setelah itu, tanpa memberiku kesempatan untuk membiasakan diri dulu, Pak Dedi sudah menggenjotku dengan kasar.

Pak Dedi menggerak-gerakkan pinggulnya dengan kencang dan kasar menghunjam-hunjam ke dalam tubuhku hingga aku memekik keras setiap kali kejantanan Pak Dedi menyentak ke dalam. Pedih dan ngilu. Namun ada sensasi aneh yang baru pertama kali kurasakan di mana di sela-sela rasa ngilu itu aku juga merasakan rasa nikmat yang tak terkira.

Aku hanya bisa merintih, sementara kami terus bergulat dalam posisi demikian. Sampai tiba-tiba ada rasa nikmat yang luar biasa di sekujur tubuhku. Aku telah orgasme. Ya, orgasme bersama dengan orang yang aku benci karena telah menjebakku seperti ini.

Tubuhku mengejang selama beberapa puluh detik. Sebelum melemas. Namun Pak Dedi rupanya belum selesai. Ia kini membalikkan tubuhku hingga kini aku bertumpu pada kedua telapak tangan dan kedua lututku. Ia ingin meneruskannya dengan doggy style. Aku hanya pasrah saja.

Kini ia menyetubuhiku dari belakang. Tangannya kini dengan leluasa berpindah-pindah dari pinggang, meremas pantat dan meremas-remas payudaraku. Ia bahkan lebih memperhebat serangannya. Mungkin ia merasa dengan posisi seperti ini, jepitan vaginaku makin kencang.

Pada saat itu tanpa kusadari, Nono telah berlutut di depanku. Ia menyodorkan batang penisnya ke dalam mulutku, tangannya meraih kepalaku dan dengan setengah memaksa ia menjejalkan batang kejantanannya itu ke dalam mulutku. Dengan setengah terpaksa, setengah menahan nafsu, akupun mulai menghisap dan menjilati penis Nono yang ukurannya tidak jauh beda dengan penis Pak Dedi tersebut.

Kini aku melayani dua orang sekaligus. Pak Dedi yang sedang menyetubuhiku dari belakang. Dan Nono yang sedang memaksaku melakukan oral seks terhadap dirinya. Dengan dua orang yang mengeroyokku aku sungguh kewalahan hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Malahan aku merasa sangat terangsang dengan posisi seperti ini.

Mereka menyetubuhiku dari dua arah, yang satu akan menyebabkan penis pada tubuh mereka yang berada di arah lainnya semakin menghunjam. Kadang-kadang aku hampir tersedak, tapi tidak ada yang mengalah, keduanya terus menggenjotku seenaknya. Perlahan-lahan kenikmatan yang tidak terlukiskan menjalar di sekujur tubuhku.

Perasaan tidak berdaya saat bermain seks ternyata mengakibatkan diriku melambung di luar batas yang pernah kuperkirakan sebelumnya. Dan kembali tubuhku mengejang, deras dan tanpa henti. Aku mengalami orgasme yang datang dengan beruntun seperti tak berkesudahan.

Tidak lama kemudian Pak Dedi mengalami orgasme. Batang penisnya menyemprotkan air mani dengan deras ke dalam liang vaginaku. Penisnya menyentak-nyentak dengan hebat, aku bisa merasakan air mani yang disemprotkannya banyak sekali, hingga sebagian meluap keluar meleleh di salah satu pahaku.

Sesudah itu mereka berganti tempat. Nono mengambil alih posisi Pak Dedi. Masih dalam posisi doggy style. Batang kejantanannya dengan mulus meluncur masuk dalam sekali sampai menyentuh bibir rahimku. Ia bisa mudah melakukannya karena memang liang vaginaku sudah sangat licin dilumasi cairan yang keluar dari dalamnya dan sudah bercampur dengan air mani Pak Dedi yang sangat banyak.

Permainan dilanjutkan. Aku kini tinggal melayani Nono seorang, karena Pak Dedi dengan nafas yang tersengal-sengal telah duduk telentang di atas sofa untuk mengumpulkan tenaga. Aku mengeluh pendek setiap kali Nono mendorong masuk penisnya. Nono terus memacu gerakkannya.

Semakin lama semakin keras dan kasar hingga membuat aku merintih dan mengaduh tak berkesudahan. Tangan lelaki itu kini lebih leluasa meremas-remas kedua belah payudaraku yang menggoda. Cukup kewalahan juga aku menghadapi Bang Nono, benar-benar luar biasa tenaganya.

“Ehh…akhirnya kesampaian… juga gue ngentotin… seleb sekolah,… memek model memang sip” ujarnya terengah-engah
Sudah hampir setengah jam ia bertahan. Terus…, terus…, aku tak peduli lagi dengan gerakanku yang brutal ataupun suaraku yang kadang-kadang memekik menahan rasa luar biasa itu.

Ketika klimaks itu sampai, aku tak peduli lagi…, aku memekik keras. Dunia serasa berputar. Sekujur tubuhku mengejang. Sungguh hebat rasa yang kurasakan kali ini. Sungguh ironi memang, aku mendapatkan kenikmatan seperti ini bukan dengan orang yang aku sukai. Tapi masa bodohlah, toh akupun menikmatinya.

Beberapa saat kemudian, Bang Nono mulai menggeram sambil mengeretakkan giginya. Tubuh si penjaga sekolah itu bergetar hebat. Penisnya menyemburkan cairan kental yang hangat ke dalam liang vaginaku dengan derasnya. Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan kami memisahkan diri.

Kami terbaring kelelahan di atas kasur itu. Nafasku yang tinggal satu-satu bercampur dengan bunyi nafasnya yang berat. Kami masing-masing terdiam mengumpulkan tenaga kami yang sudah tercerai berai. Aku sendiri terpejam sambil mencoba merasakan kenikmatan yang baru saja aku alami di sekujur tubuhku ini.

Terasa benar ada cairan kental yang hangat perlahan-lahan mengalir keluar dari liang vaginaku. Hangat dan sedikit gatal menggelitik. Vaginaku benar-benar banjir, basah kuyub. Aku menggerakkan tanganku untuk menyeka bibir vaginaku itu dan tanganku pun langsung dipenuhi dengan cairan kental berwarna putih susu yang berlepotan di sana.

Aku menggerakkan bola mataku ke arah lain melihat seseorang masuk ke ruangan yang ternyata Pak Hendri, guru fisikaku dan orang itu juga sudah telanjang bulat, dan astaga kulihat penisnya bahkan lebih besar dari penis Pak Dedi. Meski panjangnya sama, namun diameternya lebih besar. Aku menggigit bibir pasrah dan hanya bisa memejamkan mata ketika Pak Hendri mulai mendekati tubuhku.

Pak Hendri menyusul berbaring di sisiku, ia menyuruhku untuk memiringkan tubuhku,. Lalu Ia berbaring miring dibelakangku, dan berusaha menerobos vaginaku lewat belakang belakang. Kepala penis Pak Hendri yang besar itu menggesek clitoris di liang vaginaku hingga aku merintih kenikmatan.

Ia terus berusaha menekankan penisnya ke dalam vaginaku yang memang sudah sangat basah. Pelahan-lahan benda itu meluncur masuk ke dalam milikku. Tiba-tiba ia menekankan penisnya dengan agak kasar hingga seluruh batang itu amblas ke vaginaku, aku pun tak kuasa menahan diri untuk tidak memekik.

Perasaan luar biasa bercampur sedikit pedih menguasai diriku, hingga badanku mengejang beberapa detik. Pak Hendri cukup mengerti keadaan diriku, ketika dia selesai masuk seluruhnya dia memberi kesempatan padaku untuk menguasai diri beberapa saat. Sebelum kemudian dia mulai menggoyangkan pinggulnya pelan-pelan kemudian makin lama makin cepat.

Aku sungguh tak kuasa untuk tidak merintih setiap Pak Hendri menggerakkan tubuhnya, gesekan demi gesekan di dinding dalam liang senggamaku sungguh membuatku terbuai. 15 menit lamanya Pak Hendri menyetubuhi aku dengan cara itu.

Sementara bibirnya tak hentinya melumat bibir, tengkuk dan leherku, tangannya selalu meremas-remas payudaraku. Aku dapat merasakan puting susuku mulai mengeras, runcing dan kaku.
Aku merasakan bagaimana batang penis lelaki itu keluar masuk ke dalam liang vaginaku. Aku selalu menahan nafas ketika benda itu menusuk dalam-dalam.

Aku sempat melirik kesekeliling ruangan, ternyata Pak Dedi dan Bang Nono sudah menghilang entah kemana, sehingga hanya Pak Hendri dan aku yang ada di ruangan tersebut. Berkali-kali kuusap keringat yang membasahi dahiku. Pak Hendri kemudian membaringkanku telentang dan menindihi tubuhku.

Penisnya kembali memasuki vaginaku
“Dinda… oh udah lama… bapak pengen ngentotin kamu… kalo liat kamu, bapak…. kadang tak tahan lagi …dan pengen menggenjot kamu” racaunya
Ia memacu keras untuk mencapai klimaks. Desah nafasnya mendengus-dengus seperti kuda liar, sementara goyangan pinggulnya pun semakin cepat dan kasar.

Peluhnya sudah penuh membasahi sekujur tubuhnya dan tubuhku. Sementara kami terus berpacu. Sungguh hebat laki-laki ini. Walaupun sudah berumur tapi sodokannya begitu mantap, bahkan mengalahkan sodokan Ryan pacarku. Tiba-tiba Pak Hendri melepaskan diri, lalu ia berjongkok di depanku yang masih terbaring dengan bagian bawah perutnya persis berada di depan wajahku.

Aku sudah tahu apa yang dia mau, namun tanpa sempat melakukannya sendiri, tangannya telah meraih kepalaku untuk dibawa mendekati kejantanannya yang sungguh besar itu. Tanpa melawan sama sekali aku membuka mulut selebar-lebarnya, lalu kukulum sekalian alat vital Pak Hendri yang berlepotan berbagai macam cairan tersebut ke dalam mulutku hingga membuat lelaki itu melek merem keenakan.

Aku pun bekerja keras, menghisap, mengulum serta mempermainkan batang itu keluar masuk ke dalam mulutku. Kepala penisnya bergetar hebat setiap kali lidahku menyapunya.

Hingga akhirmya kurasakan semburan sperma memenuhi seluruh sudut mulutku, amat banyak.
“Ehh,,,Dinddaa…mulutmu enak sekali..ahhh” erangnya keenakkan.

Aku langsung meminum sperma yang memenuhi mulutku, dan harus kuakui sebenarnya aku menyukai rasa sperma yang asin, gurih, dan beraroma menyengat itu.
“Bukan main Dinda, ternyata kau hebat sekali!, memek paling nikmat yang pernah bapak entot” kata Pak Hendri penuh kepuasan.

Aku masih berbaring menelungkup di atas kasur. Pujian itu sedikit membuatku bangga, tapi aku memikirkan bagaimana bila orang lain yang mendengarnya, mau ditaruh dimana mukaku. Aku sungguh sangat kelelahan, kupejamkan mataku untuk sejenak beristirahat.

Masa bodoh dengan tubuhku yang masih telanjang bulat, rasanya seluruh tubuhku luluh lantak. Setelah berhasil mengumpulkan cukup tenaga kembali, dengan terhuyung-huyung, aku bangkit dari tempat tidur, aku memunguti pakaianku yang berserakan dan pergi mencari kamar mandi.

Aku berpapasan dengan Pak Dedi yang muncul dari dalam sebuah ruangan yang pintunya terbuka. Lelaki sudah berpakaian seadanya dan sedang sibuk mengancingkan retsluiting celananya. Masih sempat terlihat olehku, bahwa di dalam kamar itu, di atas tempat tidur, tubuh Sherin yang telanjang sedang ditindihi oleh tubuh Bang Nono yang bergerak-gerak cepat, memacu naik turun.

Sherin menggelinjang-gelinjang setiap kali Bang Nono bergerak naik turun. Sudah kuduga kalo ia juga bernasib sama seperti diriku.
“Kamar mandinya dimana Pak?” tanyaku pada Pak Dedi.

Tanpa menjawab, ia hanya menunjukkan tangannya ke sebuah pintu. Akupun segera beranjak menuju pintu itu. Di sana aku membersihkan diri seadanya sambil menangis. Aku tidak tahu sudah terjerumus ke dalam apa aku kini. Aku sungguh benci kepada diriku sendiri,rasa sedih, kesal, marah bercampur menjadi satu, tadi itu adalah perkosaan namun setiap kali mengingatnya malah selangkanganku terasa basah dan ingin mengelusnya.

Akupun menyemprotkan air dari shower kedalam liang vaginaku untuk mengeluarkan sisa-sia cairan yang mungkin masih belum keluar. Sesudah merasa cukup bersih, aku menyudahi mandiku dan memakai pakaianku. Dengan ponselku aku menelepon layanan taksi untuk menjemput dan mengantarku pulang.

Dengan berjalan tertatih-tatih aku melangkah keluar kamar mandi dan berjalan mencari Pak Dedi untuk menagih janji. Akhirnya kutemukan ia di ruang tamunya, ia sedang duduk diatas sofanya, sambil menghisap sebatang rokok. Sherin masih dikerjai para bajingan itu ketika aku melintas di kamar tadi.

Ia sedang menaik-turunkan tubuhnya di atas penis Pak Hendri yang berbaring telentang sambil menggerayangi tubuh mulusnya. Sementara Bang Nono yang berlutut di sebelahnya sedang asyik menyusu sambil tangannya meremasi payudara yang satunya.

Ia memandangku dengan tatapan sayu ketika aku lewat di depan pintu, mulutnya terus mengeluarkan desahan nikmat. Jujur saja, aku kasihan padanya, gadis secantik itu harus menjadi budak seks para bandot itu, namun aku tak dapat berbuat apa-apa karena akupun dalam kesulitan yang sama dengannya.

“Bagaimana dengan HP Ryan pak?”.
“Minggu depan kamu dapat mengambilnya”, sahut laki-laki itu pendek.
“Kenapa tidak sekarang saja?”, protes aku tak puas.
“Aku masih ingin bertemu kamu, selama seminggu ini bapak minta agar kamu melayani bapak, kapan saja bapak mau”, jawab Pak Dedi.

Aku dongkol dengan jawabannya itu. Sudah kuduga urusannya tidak akan beres begitu saja. Tanganku terkepal erat-erat menahan marah, ingin rasanya menonjok bandot ini, tapi akupun segera dapat menguasai diri.

Sungguh menyebalkan mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya, dasar munafik, padahal baru tadi siang ia mengkhotbahiku mengenai kebejatan moral, sementara ia sendiri yang bermoral bejat dan memangsa muridnya sendiri
“Gak janji!”, sahutku seenaknya sambil bangkit berdiri dan berjalan melewati pintu keluar.

Sudah hampir jam sembilan malam ketika aku keluar dari rumah itu, berarti hampir 2 jam lamanya aku digarap oleh para bandot tua itu.
Tak lama menunggu di luar, taksi yang kupesan pun tiba, dan begitu berhenti didepanku, aku langsung masuk dan menyebutkan alamat rumahku. Sepanjang perjalanan aku termenung memikirkan apa yang baru saja terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hidupku. Aku tumpahkan segala perasaan campur aduk, kekesalan, dan sakit hati dengan menangis di kamarku.